I’m back! Dan semoga konsisten. Mengingat belakangan lebih menikmati keliling daripada menulis. Padahal menulis bagian lebih penting dalam kehidupan saya—saya kuliah di fakultas sastra dan kemudian bergelut 20 tahun di arena jurnalistik. Nah dari keliling ini, belakangan saya menemukan cerita menarik dan bahkan unik. Salah satunya di kedai kopi yang jadi incaran saya sejak ditampilkan di akun Instagram Jakarta Coffee Spot, Warkop Jaelansky. Meski mungil dan jadi bagian dari sebuah pasar di Pamulang, Tangsel, kedai kopi ini tampak estetis. Lebih daripada itu, ternyata, menjual kopi termahal di dunia.

Sebulan saya memikirkan cara mencapai Warkop Jaelansky. Pamulang bukan lokasi yang jauhnya kebangetan dari rumah saya di Depok, tapi malas café-hopping di sana sendirian lagi—sebagaimana saya pernah lakukan sebelum pandemi. Tibalah saatnya saya dan suami menengok nenek saya di Gandaria Utara, Jaksel, pada Idul Adha kemarin—karena saat Idul Fitri kami absen hadir. Saya bujuk suami sekalian mengantar ke Pamulang dan dia mengiakan, yeay!
Pada akhirnya sih saya ngopi di Warkop Jaelansky… sendirian. Karena warkop saat itu baru buka pukul 2 siang dan suami harus mengambil daging kurban dekat rumah, saya ditinggal di Pamulang—untung dibekali isi G*P**. Untungnya lagi pemilik warkop, Denny, ramah dan komunikatif jadi enggak berasa ngenes banget sendirian lagi di Pamulang.

Sejarah Warkop Jaelansky ternyata sudah panjang. Warkop ini berdiri pada 2014 dan baru 3 tahun kemudian menempati salah satu kios di bagian belakang Pasar Modern Pamulang. Yang punya warkop namanya Denny, Jaelansky nama siapa? Ini nama teman si pemilik, Jaelani, yang dipanggil Jaelansky agar terdengar ngepop.

Di sini tidak ada buku atau papan menu, tapi sedia minuman yang banyak dicari orang kayak kopi susu. Buat yang suka kopi seduh manual, dalam versi dingin atau japanese kayak selera saya atau dalam versi hangat, boleh dibilang Warkop Jaelansky salah satu surganya—kalau surga ada banyak. Di warkop mungil ini, 5 kantong biji kopi single origin terpampang di atas bar kopi, dan yang istimewa, termasuk biji kopi Geisha. Jadi Geisha saat ini menyandang predikat kopi termahal di dunia, katanya karena rasa dan teksturnya sangat clean plus jarang panen—jangan debat saya karena saya juga tidak terlalu paham.
Segelas kopi seduh manual dengan biji kopi lokal dihargai Warkop Jaelansky 15 ribu rupiah, dengan kopi Geisha 40 ribu rupiah. Begitu mendengar informasi ini, saya langsung menyambar, “Kopi japanese Geisha satu ya, Mas!” Di kedai-kedai kopi, segelas kopi Geisha rata-rata harganya 100 ribu rupiah. Tidak heran seorang café-hopper yang datang duluan sampai pesan 2 gelas.

Kopi Geisha pesanan saya itu asal Kolombia, bukan asal Panama yang merupakan varietas Geisha paling mahal. Di dalam warkop ada sekantong Geisha Panama, baru akan dikeluarkan setelah yang Kolombia habis. Tapi minum Geisha Kolombia saja saya sudah happy, karena murahnya itu. Kopi Geisha Kolombia terhidang dengan warna merah cerah, lebih mendekati warna teh dibanding warna kopi. Bekas seduhan kopi pun, seperti ditunjukkan Denny tapi sayang tidak saya foto, warnanya terang. Rasanya sendiri, tidak ada pahit-pahitnya. Serius, kayak minum teh floral. Pengalaman menarik. Tapi kembali ke selera pribadi, saya lebih mending minum kopi Malabar atau Kerinci hi hi hi.
Kata Denny, berhubung berjualan di pasar, dia tidak mungkin mematok harga mahal untuk minuman-minuman kopinya. Es kopi susu ala Warkop Jaelansky saja dijual 10 ribu rupiah. Sebagai pengisi perut pengunjung sebelum ngopi atau buat teman ngopi, Denny sedang membangun kios sebelah sebagai warung makan.
Warkop Jaelansky –> Pasar Modern Pamulang Blok T2/1-2, Pamulang, Tangerang Selatan.